Tafsir
Surat An-Nisaa’ Tentang Poligami
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Tafsir
2”
Dosen Pengampu :
Muhammad
Al-Furqon, M.Pd.I
Kelas : K
Disusun Oleh :
Najmina Fairuz Zara
|
932143714
|
PROGAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI (STAIN) KEDIRI
2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah
SWT., karena hanya atas berkah, rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nisaa’
Tentang Poligami”.
Dengan selesainya makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang telah memberikan masukan-masukan kepada penulis. Untuk itu
penulis mengucapkan banyak terimakasih
Dalam
penyusunan makalah
ini,
banyak pihak yang turut membantu serta memberikan dorongan pemikiran dan materi.
Oleh karena itu, kami
menyampaikan
ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada Bapak
Muhammad Al-Furqon, M.Pd.I. selaku
Dosen Mata Kuliah Tafsir 2 dan juga berbagai
pihak yang telah memberikan sumbangan dalam penyelesaian makalah ini.
Selanjutnya,
saya menyadari
bahwa makalah
ini
masih belum sempurna. Namun demikian, saya berharap semoga makalah ini
bermanfaat dan memberikan sumbangan pengalaman bagi pembacanya.
Kediri, 07 September 2015
Penyusun,
DAFTAR
ISI
Halaman judul .....................................................................................................
|
i
|
Kata Pengantar
.......................................................................................................
|
ii
|
Daftar isi ................................................................................................................
|
iii
|
BAB I PENDAHULUAN
....................................................................................
|
1
|
A.
Latar Belakang ...........................................................................................
|
1
|
B.
Rumusan Masalah
......................................................................................
|
1
|
C.
Tujuan Penulisan
.......................................................................................
|
1
|
BAB II PEMBAHASAN
.....................................................................................
|
2
|
A.
Pengertian Poligami ...................................................................................
|
2
|
B. Tafsir
Ayat Al-Qur’an Mengenai Poligami………………………………
C. Pendapat
Ulama Mengenai Poligami…………………………………….
D. Dasar
Alasan Berpoligami..........................................................................
|
3
5
8
|
BAB III PENUTUP
.............................................................................................
|
12
|
A.
Kesimpulan
................................................................................................
|
12
|
B.
Saran
..........................................................................................................
|
12
|
Daftar Pustaka
........................................................................................................
|
iv
|
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Poligami
telah dibahas didalam ayat Al-Qur’an dan banyak ulama menafsirkan dan
berpendapat mengenai poligami didalam agama islam. Ada yang memperbolehkan, dan
ada pula yang menolaknya. Tentunya hal tersebut didasari pada pendapat
masing-masing orang atas penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an mengenai poligami.
Persoalan poligami merupakan masalah terbangunnya keluarga yang utuh dan
sejahtera, dimana ayah, ibu serta anak-anak memiliki hak yang sama untuk
mendapatkan kebahagiaan. Seorang istri yang hidup dengan suami yang melakukan
poligami memiliki hak yang harus dipenuhi oleh suami baik itu dari segi
material ataupun segi immaterial terlebih lagi anak-anak mereka yang masih
memiliki kehidupan kedepan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian Poligami?
2. Bagaimana tafsir ayat Al-Qur’an mengenai
poligami?
3. Bagaimana
pendapat para ulama mengenai poligami?
4. Apa
saja dasar yang dijadikan alasan berpoligami?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Menjelaskan
pengertian poligami
2. Menafsirkan
ayat Al-Qur’an mengenai poligami
3. Memaparkan
pendapat paraulama mengenai poligami
4. Memaparkan
dasar yang dijadikan alasan berpoligami
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Poligami
Kata poligami
berasal dari bahasa Yunani. Secara etimologi, poligami berasal dari kata epolus yang berarti banyak, dan gamos yang berarti pasangan atau isteri.
Poligami bisa dikatakan sebagai mempunyai istri lebih dari satu orang secara
bersamaan.[1]
Adapun secara terminologis, poligami dapat dipahami sebagai suatu keadaan
dimana seorang suami memiliki istri lebih dari satu orang.[2]
Seorang suami yang berpoligami dapat memperistri dua, tiga, empat atau bahkan
lebih pada saat yang bersamaan.
Dalam bahasa arab, poligami disebut dengan ta’did al
zawjah (berbilangnya pasangan) dalam bahasa indonesia disebut pemaduan.[3]
Poligami bukanlah hitungan berapa kali seorang suami melakukan sebuah
pernikahan, namun berdasar pada berapa jumlah istri yang dimilikinya disaat
yang bersamaan. Seorang suami yang ditinggal mati
istrinya lalu menikah lagi baik itu sebanyak dua, tiga, empat kali atau bahkan
lebih tidak dapat dikatakan berpoligami karena hanya menikahi satu istri pada
satu waktu dan istrinya tidak lebih dari satu pada saat yang bersamaan.
Sehingga ketika seorang suami melakukan pernikahan lebih dari sekali, tetapi
istri terakhir berjumlah satu, maka tidak dapat dikatakan dia berpoligami.
Penjelasan
diatas berbeda dengan pendapat Henry Pratt Fairchild, yang mengatakan bahwa
uraian tentang poligami tersebut tidak tepat apabila dikatakan sebagai
poligami, tetapi lebih tepat disebut poligini. Sebab, istilah poligami dapat
diartikan sebagai perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari seorang
istri, atau antara seorang perempuan dengan lebih dari seorang suami. Istilah
poligami dapat dilakukan oleh suami dan juga istri, sedangkan istilah poligini
hanya untuk seorang suami. [4]
Namun perbedaan pemaknaan tersebut tidak berlangsung lama karena pada
perkembangan selanjutnya telah dikenal istilah poliandri dimana sebutan
tersebut ditujukan pada seorang istri yang memiliki suami lebih dari satu. Oleh
karena itu, istilah poligami dengan sendirinya melekat sebagai sebutan bagi
seorang suami yang memiliki istri lebih dari satu orang pada saat yang
bersamaan.
B.
Tafsir
Ayat Al-Qur’an Mengenai Poligami
Menurut syari’at islam,
poligami ditetapkan sebagai perbuatan yang diperbolehkan atau mubah. Berikut
penafsiran dan penjelasan dari ayat Al-Qur’an mengenai poligami:
1. Al-Qur’an Surat
An-Nisaa’ ayat 3
Artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bila kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Pada
surat diatas sudah sangat jelas diperbolehkannya poligami dengan batas maksimal
empat orang istri. Hikmahnya (rahasianya) ialah karena orang laki-laki masa
Nabi Muhammad sedikit bilangannya dari orang-orang perempuan, disebabkan banyak
yang mati dalam peperangan. Begitu juga dinegeri-negeri yang telah terjadi
peperangan didalamnya. Oleh sebab itu diperbolehkan berpoligami supaya
janda-janda yang ditinggal mati suaminya itu dapat bantuan dari suami yang
kedua.[5]
Keadilan
menjadi syarat karena istri memiliki hak untuk hidup bahagia. Sedangkan
pembatasan jumlah menjadi syarat karena jika tidak dibatasi, maka keadilan akan
sulit ditegakkan. Pembatasan tersebut juga memberikan toleransi yang tinggi baik
kepada laki-laki ataupun perempuan. Seseorang dengan segala kelebihannya
tentunya dapat saja beristri lebih dari empat orang, tetapi islam memberikan
jalan tengah dengan memperbolehkan beristri maksimal empat orang. Bagi
perempuan pun, persyaratan tersebut dapat membuat lebih terjaganya kehidupan
dan kebahagiaan dibandingkan dengan tanpa pembatasan jumlah.[6]
2. Al-Qur’an
An-Nisaa’ ayat 129
Artinya: “Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu,
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kau terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari
kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang”
Seorang
suami tentunya ingin dan bahkan berusaha untuk berlaku adil kepada para istri.
Namun, hal tersebut mungkin hanya berlaku pada segi lahiriah saja seperti
pemberian sandang pangan dan juga pemberian kesempatan yang sama dalam giliran
bermalam. Namun seorang suami tidak akan mampu berlaku adil dalam hal
mencurahkan simpati atau hati dan rasa sayang kepada semua istrinya. Tentunya
akan ada salah satu diantara para istri yang sebenarnya paling disayangnya.
Seperti
yang dikutip dari buku Tafsir qur’an Karim karya Mahmud yunus, Sesungguhnya
kamu tiada sanggup berlaku adil dengan seadil-adilnya terhadap beberapa
istrimu, adil tentang cinta hati dan kasih sayang dalam hatimu, meskipun kamu
hendak berbuat demikian. Sebab itu janganlah kamu condong kepada yang kau
cintai secondong-condongnya, sehingga kamu tinggalkan (biarkan) yang lain
sebagai perempuan yang tergantung diawang-awang, seolah-olah ia tidak bersuami
dan tidak di thalak. Jika kamu perbaiki pergaulanmu antara istri-istrimu, yaitu
dengan berlaku adil tentang giliran dan nafkah, meskipun tak sanggup adil tentang
cinta, maka Allah mengampuni demikian itu.[7]
Diriwayatkan
oleh ibnu Abi Hatim dari Ibnu abi Malikah, bahwa ayat ini mengenai siti A’isyah
yang diantara para istrinya yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW yang
mengaku ia tidak dapat memaksakan hatinya berlaku adil. Beliau bersabda yang
artinya: “Ya Tuhanku, inilah pembagian
yang dapat kuberikan mengenai hal-hal yang dapat kukuasai. Maka janganlah
engkau sesali aku dalam hal-hal yang Engkau kuasai dan tidak kukuasai”. (yakni
hati)[8]
C.
Pendapat
Ulama Mengenai Poligami
Mengenai
hukum poligami dalam islam, menurut Imam Syafi’ie berdasarkan sunah Rasululla,
tidaklah diperbolehkan seorang beristri lebih dari empat. Pendapat itu telah menjadi
ijma’ oleh para ulama, terkecuali golongan ulama’ syi’ah yang berpendapat bahwa
orang boleh beristrikan lebih dari empat orang sampai Sembilan, bahkan diantara
mereka yang tidak membatasi dengan sesuatu bilangan. Mereka ini berdasar kepada
perbuatan Rasulullah yang beristrikan lebih dari empat orang sampai Sembilan
bahkan sebelas istri dan mati meninggalkan Sembilan janda. Akan tetapi alasan
itu ditolak oleh mayoritas ulama islam dan bersandar kepada beberapa hadits
Rasulullah pun mereka berpendapat bahwa apa yang diperbuat Rasulullah itu
adalah merupakan kekhususan bagi beliau sebagai Rasul.[9]
Menurut
Rasyid Ridho mengatakan bahwa islam memandang poligami lebih banyak membawa
resiko atau madharat daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya
(Human nature) mempunyai watak
cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul
dengan kadar tinggi jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis.[10]
Dengan demikian poligami bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan rumah
tangga, baik konflikantara suami dan istri, istri dengan istri, bahkan
anak-anak dari para istri. Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut
islam adalah monogamy, sebab dengan monogamy akan mudah menetralkan sifat atau
watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang
monogamy.
Berbeda
dengan kehidupan keluarga poligami, orang akan mudah peka dan merangsang
timbulnya rasa cemburu , iri hati, dan suka mengeluh dengan kadar tinggi,
sehingga dapat mengganggu ketenangan rumah tangga dan dapat mengancam keutuhan
rumah tangga itu sendiri. Karena itu, poligami hanya diperbolehkan bila dalam
keadaan darurat, semisal karena sang isteri mandul. Sebab, dalam islam anak
merupakan salah satu dari tiga human
investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia,
yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah adanya keturunan yang saleh yang
selalu berdo’a untuknya.[11]
Selain
pandangan poligami menurut Imam Syafi’ie dan Rasyid Ridho, Muhammad Syahrur
menyoroti masalah perlindungan anak pada keluarga yang berpoligami pada buku
karya Rodli Makmun yang berjudul Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur. Jika
selama ini UU Perkawinanmaupun PP 10 tahun 1983 mengenai poligami hanya
menyebut bahwa seorang laki-laki hanya membutuhkan izin dari istrinya untuk
berpoligami, sedangkan izin anak sama sekali tidak disinggung.
Pro-kontra
poligami yang masih berlangsung saat ini sangat jarang membahas mengenai
hak-hak anak yang harus terpenuhi dan sering kali hanya memikirkan izin dari
istri sebelumnya. Padahal dalam keluarga, anak juga memiliki hak yang harus
dipenuhi yang mana juga membutuhkan keadilan ketika ia berada pada keluarga
yang berpoligami. Bukan hanya keadilah secara materi seperti uang jajan, tempat
tinggal, sekolah, ataupun fasilitas yang lain, tetapi mengenai kebutuhan batin
atau psikisnya.
Peran
ayah sangatlah dibutuhkan oleh seorang anak ataupun istri didalam keluarga.
Bisa dibayangkan bagaimana seorang anak kecil yang lahir ditengah keluarga yang
berpoligami dan hidup dalam keadaan kurang kasih sayang dari sang ayah.
Tentunya kebutuhan psikologis sang anak yang membutuhkan perhatian sang ayah
akan kurang dibandingkan dengan keluarga monogamis.
Anak
yang mengalami kekurangan hubungan dengan orang tua akan mengalami trauma
emosianal.[12]
Belum lagi ketika seoarang anak dititipkan kepada pengasuh, tentunya hal
tersebut malah dapat memperparah kondisi psikologis anak dan dapat menyebabkan
perilaku menyimpang pada anak, karena dampak kehilangan kasih sayang dari
seorang ayah tersebut sangatlah dirasakan sebagai suatru penolakan ataupun
pengabaian. Dengan kapasitas pemahaman yang masih terbatas akan suatu
peristiwa, sang anak akan menerjemahkan kejadian tersebut sebagai bentuk
penolakan atas dirinya sehingga ia merasa tidak cukup berharga dan tidak pantas
untuk dicintai. Jika tidak diperbaiki tentunya hal ini akan berlanjut sampai
anak dewasa dan memasuki dunia luar dan berpengaruh pada pembentukan identitas
seseorang serta penyesuaian diri dalam kehidupannya di lingkungan.[13]
D.
Dasar
Alasan Berpoligami
Menurut syara’ atau hukum islam, poligami dilakukan
dengan alasan sebagai berikut:[14]
1.
Adanya ayat A-Qur’an yang menyatakan bahwa poligami
bukan perbuatan yang terlarang, bahkan ayatnya dimulai dengan kalimat perintah.
2.
Adanya hadis yang memperbolehkan poligami.
3.
Adanya contoh dari Rasulullah SAW. Yang poligami
dengan sembilan istri.
4.
Adanya kecenderungan seksual kaum laki-laki yang
lebih besar daripada kaum perempuan.
5.
Adanya kesepakatan para ulama bahwa poligami
hukumnya boleh.
6.
Adanya kenyataan bahwa sejak sebelum datang islam,
poligami sudah dilakukan oleh kaum laki-laki. Islam haya membatasi poligami
maksimal dengan empat orang istri.
7.
Adanya persyaratan yang ditekankan untuk suami,
yakni berlaku adil.
Untuk dapat
mencapai kemaslahatan umat Allah membolehkan (menurut fuqaha) atau memberi hukum
keringanan rukhsah menurut para ulama tafsir) kaum laki-laki untuk melakukan
poligami. Adapun sebab-sebab yang membuat seseorang berpoligami adalah sebagai
berikut:[15]
1. Apabila
dalam suatu rumah tangga belum memiliki keturunan sedang istri menurut
pemeriksaan dokter dalam keadaan mandul, padahal sesuatu perkawinan diharapkan
untuk mendapatkan keturunan, maka poligami merupakan jalan keluar yang baik.
2. Bagi
kaum wanita, masa berhenti haid baginya (karena daya kemampuan berkurang) lebih
cepat datangnya, sebaliknya walaupun seorang pria telah mencapai umur yang tua,
namun apabila kondisi fisiknya sehat ia masih perlu melaksanakan tugasnya
sebagai seorang suami. Dalam keadaan ini apakah dibiarkan seorang pria itu berzina?
Maka disinilah diperbolehkan berpoligami.
3. Sebagai
akibat dari suatu peperangan umpamanya dimana kaum pria banyak yang meninggal
dan para wanita menjanda serta jumlah kaum wanita menjadi lebih banyak
dibanding kaum laki-laki.
Di masa yang
sudah modern ini, banyak alasan yang digunakan untuk melakukan poligami. Di
antaranya adalah sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan rumah tangga yang
terjadi di masyarakat. Salah satu alasan yang paling sering digunakan adalah
mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Yang memiliki landasan teologis yaitu surat
an-Nisaa’ ayat 3.[16]
Namun, selain
alasan mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Banyak alasan lain yang mendasari
seseorang berpoligami, diantaranya:[17]
1. Ketidak
Seimbangan Jumlah antara Perempuan dan Laki-laki
Ketidak seimbangan antara perempuan dan laki-laki
tentu dapat menimbulkan banyak permasalahan. Pada masa lampau, jumlah perempuan
bisa menjadi lebih banyak dibanding laki-laki karena terjadinya peperangan atau
revolusi. Sedangkan pada masa sekarang, dibanyak negara jumlah perempuan memang
jauh lebih banyak dari pada jumlah laki-laki. Dan bukan hanya jumlah perempuan
secara umum (perawan dan janda), tapi juga perempuan yang sudah menikah.
Ditambah lagi dengan ketimpangan karena banyak pria yang meninggal terlebih dahulu.
Hal itu dimungkinkan terjadi karena pria atau suami senantiasa berada pada
kehidupan luar yang secara langsung ataupun tidak lebih beresiko menghadapi
bahaya daripada para wanita atau para istri.
Ketika jumlah perempuan jauh lebih banyak dari pada laki-laki,
tentunya masalah mulai muncul. Salah satunya adalah pelacuran yang merajalela,
dan hal tersebut tidak dapat diterima oleh akal sehat[18].
2. Munculnya
Seks Bebas dan Perselingkuhan
Munculnya seks bebas dan perselingkuhan kebanyakan
terjadi dinegara-negarayang mengatur pernikahan atau menerapkan aturan monogami
pada warga negaranya. Dan alasan kedua ini tidak bisa lepas dari alasan pertama,
mengingat secara biologis laki-laki memiliki nafsu yang besar, dan ada banyak
wanita yang tidak bersuami yang akhirnya memutuskan untuk menjajakan diri
sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) atau menjadi wanita simpanan. Tentunya
ketika banyak muncul seks bebas dan perselingkuhan, kehidupan rumah tangga
seseorang sudah jauh dari kata harmonis dimana didalamnya terdapat kebohongan
antara suami istri.
3. Meningkatnya
Jumlah Kelahiran Tanpa Pernikahan yang Sah
Pada kehidupan modern saat ini banyak yang mengecam
adanya poligami. Namun, keanehan justru terjadi diluar sana, dimana mereka
menganggap hubungan seksual diluar nikah dengan banyak perempuan sebagai hal
yang sudah biasa. Suatu laporan dari surat kabar Ittila’at dalam bulan Desember
1959, menurunkan sebuah artikel berjudul “Dari Setiap Sepuluh Anak Inggris,
Satu adalah anak Haram” Dalam artikel ini dilaporkan bahwa selama satu tahun
telah lahir anak haram sebanyak 19.595 anak, atau rata-rata 54,53 anak perhari.
Data ini diambil 50 tahun silam. Bila dihitung kembali pada era modern ini,
jumlah anak haram yang lahir tentunya sangat memprihatinkan.[19]
4.
Istri Mandul dan atau Berpenyakit Kronis
Ketika seseorang menikah, tentu hal yang paling
diharapkan dan diidam-idamkan adalah memiliki keturunan. Namun bagaimana jika
sang istri tidak dapat memberikan keturunan karena memiliki penyakit, atau
karena mandul? Tentunya itu sangat tidak diharapkan. Lalu apa jalan keluarnya?
Haruskah sang suami membiarkan istrinya dan tetap memberikan haknya sebagai
istri, ataukah menceraikannya karena alasan tidak mau melakukan poligami? Dalam
kasus ini, tentunya poligami adalah cara yang lebih baik daripada harus
menceraikan sang istri demi mendapatkan keturunan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Poligami
dapat dipahami sebagai suatu keadaan dimana seorang suami memiliki istri lebih
dari satu orang. Seorang suami yang berpoligami dapat memperistri dua, tiga,
empat atau bahkan lebih pada saat yang bersamaan.
2. Pada
Al-Qur’an suratan-Niasaa’ ayat 3 sudah dijelaskan mengenai poligami dengan
syarat tidak boleh lebih dari empat orang istri dan harus dapat berlaku adil
kepada semua istrinya. Dan pada surat an-Nisaa’ ayat 129, dijelaskan bahwa
seorang suami harus berlaku adil baik itu dari segi material ataupun immaterial.
3. Imam
Syafi’ie berdasarkan sunah Rasulullah, tidaklah diperbolehkan seorang beristri
lebih dari empat. Sedangkan menurut Rasyid Ridho, islam memandang poligami
lebih banyak membawa resiko atau madharat daripada manfaatnya, karena manusia
itu menurut fitrahnya (Human nature)
mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan
mudah timbul dengan kadar tinggi jika hidup dalam kehidupan keluarga yang
poligamis
4. Alasan
berpoligami antara lain:
a. Mengikuti
sunah Nabi Muhammad SAW
b. Ketidak
Seimbangan Jumlah antara Perempuan dan Laki-laki
c. Munculnya
Seks Bebas dan Perselingkuhan
d. Meningkatnya
Jumlah Kelahiran Tanpa Pernikahan yang Sah
e.
Istri Mandul dan atau Berpenyakit Kronis
B.
Saran
Saya selaku
penulis mohon maaf atas segala kekhilafan dan kekurangan makalah ini dan
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini lebih bermanfaat
dan lebih baik kualitasnya dimasa mendatang. Mudah-mudahan makalah ini dapat
bermanfaat bagi semuanya. Aamiin.
DAFTAR
PUSTAKA
Baidan,Nashruddin.
Tafsir bi al-Ra’yi, Upaya Penggalian
Konsep Perempuan dalam Al-Qur’an (Mencermati Konsep Kesejajaran Perempuan dalam
Al-Qur’an). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Departemen Agama
RI, Surat Tashih dari Lajnah Pentashih
Mushaf Al Qur’an .Semarang: PT Citra Effhar, 1993.
Ghazaly,
Abd. Rahman. Fiqh Munakahat .Jakarta:
Prenada Media, 2003.
Hasan, Mustofa. Pengantar
Hukum Keluarga. Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.
Hurlock, Elizabeth B. psikologi perkembangan .JAKARTA:
Erlangga, 1990.
Katsier, Ibnu. Tafsir
Ibnu Katsier terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy .Surabaya: PT
Binailmu..
Makmun, Rodli. Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur. Ponorogo:
STAIN Ponorogo Press, 2009.
Mathlub,Abdul
Majid Mahmud. Panduan HukumKeluarga
Sakinah, terj. Harits Fadly dan ahmad Khotib .Solo: Era Intermedia.
Muthahhari,
Murtadha. Hak-hak Perempuan dalam Islam, Terj.
M. Hashem .Jakarta: PT Lentera Basritama, 1995.
Yunus, Mahmud. Tafsir
Qur’an Karim .Jakarta: PT Hidakarya Agung, 2004.
Zuhdi, Masyfuk. Masail Fiqhiyah :Kapita Selekta Hukum Islam .Jakarta:
PT Gita Karya, 1988.
[1] Nashruddin
Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi, Upaya
Penggalian Konsep Perempuan dalam Al-Qur’an (Mencermati Konsep Kesejajaran
Perempuan dalam Al-Qur’an), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),94.
[2] Rodli Makmun, Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur
(Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009),15.
[4] Ibid,16.
[5] Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim (Jakarta: PT
Hidakarya Agung, 2004), 105.
[6] Makmun, Poligami dalam Tafsir ,18.
[7] Yunus, Tafsir Qur’an, 134.
[8] Ibnu Katsier, Tafsir Ibnu Katsier terj. Salim Bahreisy
dan Said Bahreisy (Surabaya: PT Binailmu), 578.
[9] Ibid ,310-311.
[10] Masyfuk Zuhdi,
Masail Fiqhiyah :Kapita Selekta Hukum
Islam (Jakarta: PT Gita Karya, 1988), 12.
[11] Abd. Rahman
Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta:
Prenada Media, 2003), 131.
[12] Elizabeth
B.Hurlock, psikologi perkembangan
(JAKARTA: Erlangga, 1990), 130.
[13] Makmun, Poligami dalam Tafsir ,18.
[15] Departemen Agama RI, Surat Tashih dari
Lajnah Pentashih Mushaf Al Qur’an (Semarang: PT Citra Effhar, 1993), 120-121
[16] Makmun, Poligami dalam Tafsir , 38.
[17] Ibid.
[18] Abdul Majid
Mahmud Mathlub, Panduan HukumKeluarga
Sakinah, terj. Harits Fadly dan ahmad Khotib (Solo: Era Intermedia), 127.
[19] Murtadha
Muthahhari, Hak-hak Perempuan dalam
Islam, Terj. M. Hashem (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1995), 226.